Oleh :Taufikurrahman
Laba-laba
adalah binatang kecil, berkaki empat atau lebih, hingga delapan dan bermata
enam, bahkan ada yang bermata delapan. Mereka dapat melihat daerah
sekelilingnya bahkan punggungnya sendiri. Allah swt yang menyebut tentang
laba-laba dalam al-Qur’an sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang mencari
pelindung selain Allah swt. Allah swt berfirman:
ãمَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (العنكبوت :41)
Perumpamaan
orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti
laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah
rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.[1]
Di ayat ini Allah mengumpamakan perbuatan mereka terhadap
sesembahan tersebut sebagaimana laba-laba membuat rumah yang tidak bisa
memberikan perlindungan dan ketenangan.[2]
Menurut al-Ra>zi>, kelemahan
rumah laba-laba bisa dilihat dari hal-hal berikut:
Pertama, sebuah rumah yang baik biasanya memiliki unsur-unsur
seperti: dinding yang bisa menghalangi, atap yang bisa melindungi, pintu yang
tertutup serta hal-hal lainnya yang diperlukan. Dari semua unsur yang ada,
paling tidak harus ada dua unsur pokok yaitu dinding penghalang yang bisa
menahan hawa dingin, dan atap yang melindungi dari panas.
Kedua, sebuah rumah paling tidak berfungsi untuk tempat berteduh.
Rumah dari batu, misalnya, bisa memberikan perlindungan berupa tempat berteduh,
menahan angin, air dan api dan debu. Rumah dari kayu bisa memberikan tempat
berteduh, menahan hawa panas dan dingin tetapi tidak bisa menahan angin yang
kuat, air dan api. Adapun rumah yang terbuat dari kain maupun bulu, seperti
kemah, hanya bisa memberikan naungan atau tempat berteduh, tapi tidak bisa
menahan yang lainnya.
Ketiga, fungsi terendah dari rumah adalah sebagai tempat yang bisa
mendatangkan mendapatkan ketentraman dan kedamaian, bukan sebagai tempat yang
bisa menyebabkan keresahan.
Dari semua hal yang berkaitan dengan rumah, sebagaimana tersebut di
atas, rumah laba-laba tidaklah memenuhi satupun kriteria tersebut, karena rumah
laba-laba tidak bisa berfungsi untuk menahan panas, dingin, angin air dan debu,
atau sebagai tempat berteduh sekalipun. Bahkan dari fungsi terendah sebagaimana
yang dikatakan oleh al-Ra>zi>, rumah
laba-laba tidak bisa mendatangkan ketenangan, malah ia menyebabkan keresahan
dan kegelisahan. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dijadikan
pelindung selain Allah swt, pada hakekatnya tidak memberikan manfaat apa-apa.[3]
Hal yang menarik adalah bahwa tali-temali yang dihasilkan oleh
laba-laba dalam membuat sarangnya sesungguhnya bukanlah sesuatu yang rapuh,
karena penelitian ilmiah membuktikan bahwa tali-temali tersebut, dalam kadar
yang sama, lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam.[5] ‘A>ishah bint
al-Sha>ti’ menolak
pendapat tersebut dan menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sarang laba-laba lebih kuat daripada baja
atau sutera-sutera alam, akan mengakibatkan runtuhnya ungkapan redaksi
al-Qur’an yang mengatakan bahwa serapuh-rapuh rumah tempat berlindung adalah
sarang laba laba.[5]
Namun menurut penulis hasil penemuan ilmiah di atas
tidaklah bertentangan dengan ayat al-Qur’an. Malah hasil penemuan ini
memberikan pemahaman yang lebih dalam terhadap ayat di atas, yaitu bahwa sekuat
apapun pelindung yang diambil oleh manusia selain Allah, maka ia tidak akan
bisa benar-benar melindungi manusia.
Sebab yang menjadi inti persoalan yang ada dalam ayat ini adalah
perbuatan laba-laba yang menjadikan hasil rajutannya sebagai rumah. Karena itu,
al-Ra>zi> membahas
kelemahan rumah laba-laba dari sudut pandang ilmu tentang rumah, dalam hal
bentuk, fungsi dan kegunaannya. Rumah yang dibuat oleh laba-laba, dalam
pandangan al-Ra>zi>, tidak
memenuhi kriteria yang berkaitan dengan bentuk, fungsi dan kegunaan rumah,
bahkan kriteria paling mendasar, yaitu tempat yang mendatangkan ketenangan.
Adapun hasil rajutan laba-laba, bukanlah
sesuatu yang dicela, bahkan di dalamnya terdapat manfaat antara lain untuk
menjerat mangsa.
Menurut Mus}t}afa> Mah}mu>d, al-Quran telah mengisyaratkan
bahwa tali-temali yang dihasilkan oleh laba-laba dalam membuat sarangnya
bukanlah sesuatu yang rapuh, karena penelitian ilmiah membuktikan bahwa
tali-temali tersebut, dalam kadar yang sama, lebih kuat daripada baja atau
sutera-sutera alam.[6]
Redaksi al-Qur’an mengumpamakan perbuatan orang yang
menjadikan pelindung mereka selain Allah seperti halnya perbuatan
laba-laba yang menjadikan benang rajutannya sebagai rumah, karena yang selain
Allah tidak akan bisa menjadi pelindung yang sebenarnya, sebagaimana benang
rajutan laba-laba tidak bisa berfungsi sebagai rumah yang bisa melindunginya
dari mara bahaya. Akan tetapi, al-Qur’an
tidak menyatakan bahwa benang rajutan laba-laba tersebut adalah sesuatu
yang tercela, bahkan menurut al-Ra>zi>, mengandung
manfaat, sehingga jika
penelitian ilmiah membuktikan bahwa benang laba-laba adalah sesuatu yang kuat,
maka hal tersebut tidak menyalahi redaksi al-Qur’an. Akan tetapi sekuat apapun
benang rajutan tersebut, ia tetap tidak bisa memberikan fungsi perlindungan
yang dimiliki rumah. Sesuatu selain Allah, walaupun dianggap kuat dan banyak
memberikan manfaat, pada hakekatnya tidak akan bisa memberikan perlindungan
yang sebenarnya kepada manusia, sebab hanya Allah sebenar-benarnya pelindung.
Muhammad al-Sayyid Arna>u>t} menegaskan hal yang senada dengan
pendapat al-Ra>zi>.
Menurutnya, penemuan ilmiah tentang kuatnya benang laba-laba tidak bertentangan
dengan makna yang dikandung dalam ayat al-Qur’an. Penemuan itu malah memberikan
pandangan baru tentang pemahaman ayat di atas.
Seperti halnya al-Ra>zi, Arna>u>t} juga
menyatakan redaksi al-Qur’an menyatakan bahwa sarang laba-laba, sekuat apapun
bahannya, adalah bentuk rumah yang paling jauh dari sifat yang seharusnya
dimiliki oleh rumah yaitu tempat yang memberikan keamanan, ketenangan dan
ketentraman. Sarang laba-laba, pada hakekatnya bukan rumah, akan tetapi, tempat
pembantaian yang menimbulkan rasa takut, gelisah dan tipu daya. Hal itulah juga
yang akan terjadi kepada mereka yang berlindung kepada selain Allah, yaitu
mereka tidak akan mendapatkan ketentraman dan ketenangan, malah akan selalu
berada dalam suasana ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan.[7]
[1] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 565.
[4] Mus}t}afa>
Mah}mu>d, al-Qur’a>n
Muha>walah li Fahm ‘As}ri> (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1970), 211-212; Lihat juga
Khali>l Ibra>hi>m Abu> Dhiya>b, Z{a>hirat
al-Tafsi>r al-‘Ilmi> li
al-Qur’a>n al-Kari>m (t.t.:Da>r ‘Umma>>r, t.th.), 201-202.
[5] ‘A>ishah ‘Abd al-Rah}ma>n bint al-Sha>ti’, al-Qur'a>n wa Qad}a>ya> al-Insa>n, (Beirut: Da>r al-'Ilm li al-Mala>yi>n, 1982),
361.
[6] Mus}t}afa>
Mah}mu>d, al-Qur’a>n
Muha>walah li Fahm ‘As}ri> (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1970), 211-212; Lihat juga
Khali>l Ibra>hi>m Abu> Dhiya>b, Z{a>hirat
al-Tafsi>r al-‘Ilmi> li
al-Qur’a>n al-Kari>m (t.t.:Da>r ‘Umma>>r, t.th.), 201-202.
[7] Muh}ammad al-Sayyid Arna>u>t}, al-I‘ja>z al-‘Ilmi> fi> al-Qur’a>n (Kairo: Maktabat Madbu>li>, t.th.), 88-89.